Selasa, 06 September 2016

MERINDUKAN PENDIDIKAN MASA LALU

Oleh:
Jupri

Pada jam istirahat itu, saya sedang asyik menulis jurnal pembelajaran ketika Andi dan Hafis siswa kelas lima dengan terengah mendekat bertanya mencari pembenaran, “Pak, kuat mana sih Gatotkaca sama Superman?” pertanyaan sederhana itu membuat saya tersenyum. Tapi, belum sempat menjawab, Andi yang terkenal bandel nyeletuk, “Kan sudah kubilang pasti kuat Superman. Dia hebat. Orangnya ganteng, bisa terbang, bajunya bagus, ada jubahnya...” belum selesai berkata, Hafis menyahut, “Ah, orang bego gitu dibilang hebat, masak pake celana dalam di luar, pasti nggak pernah sekolah!” “Kamu kuper sekali, masak Superman dibilang bego. Celana dalamnya di luar kan biar keren! Kamu nggak punya komik superhero, ya? Jadi nggak tau, kalo semua jagoan itu celana dalamnya di luar. Superman, Batman, Kapten Amerika... kamu tuh taunya wayang terus. Wayang tuh sudah kuno, ketinggalan jaman!” Andi terlihat kesal jagoannya dihina, “Gatotkaca mah nggak keren, masak pahlawan pake kumis gitu, terus ngapain bawa-bawa ransel segala, memangnya mau kemping? Sudah gitu nggak pake sepatu lagi…” Hafis pun tak mau kalah, “Yeeh, itu kumisnya kumis sakti tau, terus itu kan bukan ransel, tapi senjatanya buat terbang. Lagian Gatotkaca kan sakti, ngapain pake sepatu...” Andi naik pitam dan mengangkat tangannya, “Nih rasakan tinju dari Planet Kripton...” Hafis menghindar dan membalas, “Nih rasakan juga tendangan Satria Pringgondani!” Saya bangkit. “Hai, anak-anak, kalian kemari hendak bertanya atau berantem?” Dua anak itu tersadar, lalu dengan sopan segera berdiri menunduk dengan dua tangan disilangkan menempel di perutnya, “Maaf, Pak Guru,” katanya serempak. Perdebatan Andi dan Hafis, jika kita renungkan merupakan gambaran dahsyatnya pengaruh dunia barat terhadap perilaku kehidupan di negeri kita. Apa yang datang dari barat dianggap terbaik. Ijazah dan gelar lulusan lembaga pendidikan barat dianggap eksklusif. Bahasa pengantar dari barat dianggap ‘wah’.
Tak dapat dihindari, Indonesia memang mengalami penetrasi dalam berbagai hal termasuk ekonomi, politik, social, budaya, akibat penjajahan oleh dunia barat selama kurang lebih 350 tahun. Namun yang ironis, sistem pendidikan, kurikulum dan pembelajaran kita pun mengadopsi sistem pendidikan ala Barat. Padahal banyak pihak yang menilai, sistem pendidikan tersebut bersifat sekuler dan materialistik. Pendidikan kini dinilai sebagai sebuah formalitas yang tidak lagi menunjukkan esensi yang sesungguhnya dari proses pembelajaran itu sendiri, dan lebih berorientasi pada pencapaian hasil yang dirasa dapat menunjang kebutuhan finansial peserta didik di masa depan. Terlepas dari hal tersebut di atas, kita sepakat bahwa masa depan negara Indonesia sepenuhnya bergantung pada tersedianya generasi muda yang bermutu. Akan tetapi, pada saat ini ancaman terhadap masa depan generasi muda Indonesia berada pada titik yang mengkhawatirkan. Secara nyata akibat dari pengaruh dunia barat, berbagai permasalahan sudah menerpa generasi muda, mulai dari kasus tindakan kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, vandalisme, penggunaan narkoba, ancaman terorisme dan berbagai tindakan yang menjurus pada pelanggaran hukum, moral dan susila karena rapuhnya nilai-nilai pendidikan, keagamaan dan kebangsaan. Untuk mengurai aneka permasalahan generasi muda secara maksimal diperlukan pendidikan yang bermutu. Sebab pendidikan adalah kawah candradimuka untuk menyiapkan generasi muda yang berkualitas. Kemendikbud sudah berkali-kali mengganti kurikulum dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan, bahkan peningkatan mutu pendidik dan pembangunan sarana prasarana sudah dijalankan, namun belum mampu mengurai aneka permasalahan generasi muda secara maksimal. Menurut hemat penulis, konsep pendidikan Indonesia masa lalu yang dimotori Bapak Pendidikan Nasional Indonesia perlu dilakukan. Kembali ke Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Perlu diingat bahwa para tokoh nasionalis Indonesia telah berusaha untuk membangkitkan semangat berpendidikan untuk menjadi negara yang bermartabat tanpa menghilangkan unsur-unsur budaya yang kita miliki. Justru dengan hal itulah keagungan bangsa ini terlihat dan permasalahan dalam negeri bisa terkendali. Berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sudah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Pemikiran beliau tentang pendidikan masih sangat relevan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Misalnya, konsep Tri- Nga yang terdiri dari Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik) dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor), dikenalkan pada tahun 1956 oleh Dr Benjamin Bloom. Sedangkan konsep-konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut sudah diimplementasikan di Tamansiswa sejak berdiri 3 Juli 1922. Ini salah satu bukti jika pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak kalah dengan ilmuwan barat. Ada tiga konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan: Pertama, melihat pendidikan dari perspektif antropologis, yaitu bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial. Ki Hajar Dewantara memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi. Beliau juga memikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu tumbuh. Pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam pengertian masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadukan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel Natio-nalism). Ki Hadjar Dewantara menciptakan asas Tri-kon: kontinyu, konvergensi, dan konsentris. Kontinyu, menyebutkan bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara kontinyu dengan alam kebudayaannya sendiri. Konvergensi, dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Kedua, pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya, dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga berkedudukan sama dan pantas bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme. Beliau juga seorang yang berpikiran futuristik dengan universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antar bangsa melintasi ruang dan waktu. Wawasan kemajemukan ini membuka peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga, memberikan pengakuan akan pentingnya pendidikan budi pekerti. Beliau berpendapat bahwa pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dijadikan pedoman hidup berkeluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dalam konteks pemikiran Ki Hajar, pendidikan tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan harusnya mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan, sehingga anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.

1 komentar: